Sejarah Stockholm Syndrome

Deeptalk.co.id – Stockholm Syndrome, atau Sindrom Stockholm, adalah fenomena psikologis yang menarik dan kontroversial. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana korban penyanderaan atau penahanan mengembangkan ikatan emosional dengan pelaku kejahatan atau pelaku penyerangan.
Stockholm Syndrome pertama kali dikenal dan diberi nama setelah insiden yang terjadi pada Agustus 1973 di Stockholm, Swedia. Dalam peristiwa itu, empat orang yang menjadi sandera selama enam hari di bank Norrmalmstorg di Stockholm ternyata mengembangkan ikatan emosional dengan para penyandera mereka.
Dalam pembahasan kali ini, kita akan menjelajahi sejarah di balik Stockholm Syndrome. Melihat bagaimana fenomena ini pertama kali diakui dan dipelajari. Kemudian memberikan contoh yang menarik. Mari kita memahami lebih dalam tentang fenomena yang menarik ini.
Asal Usul dan Nama “Stockholm Syndrome
Pada tanggal 23 Agustus 1973, bank Stockholm di Norrmalmstorg diserang oleh dua orang penjahat bersenjata, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson. Mereka menahan empat orang sebagai sandera selama enam hari. Selama penahanan tersebut, para sandera mulai menunjukkan perilaku yang mengejutkan. Mereka tampak terikat dengan para pelaku kejahatan dan bahkan melindungi mereka saat negosiasi berlangsung.
Kejadian ini menarik perhatian publik dan media di seluruh dunia. Para ahli psikologi pun mulai mengkaji dan mempelajari fenomena ini dengan seksama. Pada saat itu, kejadian di bank Stockholm ini menjadi tonggak awal dalam pemahaman kita tentang hubungan antara korban dan pelaku kejahatan dalam situasi penahanan atau penyanderaan.
Istilah “Stockholm Syndrome” sendiri digunakan oleh media dan para peneliti untuk menggambarkan kondisi psikologis yang terjadi pada para korban dalam peristiwa tersebut. Nama tersebut kemudian menjadi sinonim dengan fenomena psikologis yang sama di berbagai kasus serupa di seluruh dunia.
Mekanisme yang Mendasari Stockholm Syndrome
Untuk memahami Stockholm Syndrome, kita perlu melihat mekanisme psikologis yang mendasarinya. Beberapa faktor utama yang berperan dalam fenomena ini antara lain:
Persepsi Ancaman dan Survival Instinct
Para korban sering kali merasakan ancaman dan ketakutan yang sangat besar selama situasi penyanderaan. Dalam upaya untuk bertahan hidup, otak mereka dapat mengaktifkan respons psikologis yang melibatkan perasaan ikatan dan keterikatan dengan pelaku kejahatan.
Identifikasi dengan Pelaku
Para korban mungkin mencari cara untuk meredakan stres dan menghindari bahaya yang dihadapi. Salah satu cara yang mungkin mereka lakukan adalah dengan mengidentifikasi diri dengan pelaku kejahatan. Ini bisa terjadi karena para korban melihat bahwa pelaku memiliki kendali penuh atas situasi dan dapat mempengaruhi nasib mereka. Dalam upaya untuk mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan peluang bertahan hidup, mereka mungkin mulai melihat pelaku sebagai sekutu atau bahkan sebagai sosok yang melindungi mereka.
Rasa Sympathy atau Empati
Dalam beberapa kasus, para korban mungkin mengembangkan rasa simpati atau empati terhadap pelaku. Mereka mungkin mencoba memahami latar belakang atau motivasi pelaku, mencoba melihat sisi “manusia” dari mereka. Ini bisa terjadi karena mereka ingin menemukan sesuatu yang bisa membantu mereka menjalin ikatan dengan pelaku atau merasa lebih aman.
Pengaruh Psikologis dari Penyanderaan
Situasi penyanderaan dapat menciptakan perasaan yang rumit dan bingung pada korban. Mereka sering kali mengalami perubahan emosi yang drastis dan tekanan psikologis yang besar. Dalam situasi seperti itu, pembingkaian perilaku pelaku sebagai “penyelamat” atau “manusia yang kompleks” dapat terjadi.
Contoh-contoh Stockholm Syndrome yang Terkenal
Stockholm Syndrome telah terlihat dalam beberapa kasus terkenal di sepanjang sejarah. Berikut adalah beberapa contoh yang menarik untuk dipertimbangkan:
Patty Hearst. Salah satu contoh paling terkenal adalah kasus Patty Hearst pada tahun 1974. Patty Hearst, cucu seorang penerbit surat kabar Amerika yang kaya, diculik oleh kelompok militan bernama Symbionese Liberation Army (SLA). Selama penahanannya, ia secara aktif terlibat dalam kegiatan kriminal dan bahkan tampil di video yang menyatakan dukungannya terhadap kelompok tersebut. Setelah dibebaskan dan ditangkap, ia mengklaim bahwa ia mengembangkan Stockholm Syndrome selama masa penahanannya.
Elizabeth Smart. Elizabeth Smart adalah seorang gadis remaja yang diculik pada tahun 2002 oleh pasangan suami istri, Brian David Mitchell dan Wanda Barzee. Selama sembilan bulan penahanannya, Smart mengalami Stockholm Syndrome dan mengembangkan ikatan emosional dengan pelaku kejahatan. Meskipun ada banyak kesempatan bagi Smart untuk melarikan diri, dia memilih untuk tetap bersama mereka karena percaya bahwa kehidupan dan keselamatan anggota keluarganya akan terancam jika dia melarikan diri.
Setelah kita membahas mengenai sejarah di balik stockholm syndrome. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa stockholm syndrome merupakan fenomena psikologis yang menarik dan kompleks. Dalam situasi penyanderaan atau penahanan, para korban dapat mengembangkan ikatan emosional dengan pelaku kejahatan sebagai mekanisme bertahan hidup. Melalui persepsi ancaman, identifikasi dengan pelaku, rasa simpati atau empati, serta pengaruh psikologis dari penyanderaan itu sendiri, Stockholm Syndrome dapat terbentuk.