Perbedaan Stockholm Syndrome dengan Trauma Bonding

Deeptalk.co.id –Dalam dunia psikologi, terdapat dua fenomena yang sering kali menimbulkan kebingungan, yaitu Stockholm Syndrome dan trauma bonding. Kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian, namun sebenarnya ada perbedaan signifikan antara keduanya. Dalam pembahasan kali ini, kita akan membandingkan Stockholm Syndrome dengan trauma bonding. Kita akan menyoroti persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Kemudian pentingnya memahami perbedaan tersebut. Hal ini berguna untuk mendapatkan wawasan yang lebih baik tentang ikatan emosional yang terbentuk dalam situasi yang sulit.

Apa Itu Stockholm Syndrome?

Stockholm Syndrome merujuk pada kondisi di mana korban penyanderaan atau penahanan mengembangkan ikatan emosional dengan pelaku kejahatan. Ini terjadi ketika korban mulai merasa simpati, empati, atau bahkan melindungi pelaku kejahatan. Ikatan emosional ini seringkali bertahan bahkan setelah situasi penyanderaan berakhir.

Dalam situasi Stockholm Syndrome, korban mulai merasa terikat secara emosional dengan pelaku kejahatan. Mereka mungkin mengembangkan perasaan simpati, perhatian, atau bahkan rasa perlindungan terhadap pelaku. Fenomena ini seringkali membuat orang lain terkejut, karena mereka mungkin sulit memahami bagaimana korban bisa mengembangkan ikatan emosional dengan orang yang mereka anggap sebagai ancaman.

Contoh nyata dari Stockholm Syndrome dapat ditemukan dalam berbagai kasus penyanderaan atau situasi penahanan. Misalnya, pada peristiwa penyanderaan di Stockholm, para sandera mengembangkan ikatan emosional dengan para penyandera mereka. Mereka berbagi perasaan simpati dan empati terhadap para penyandera, bahkan setelah pembebasan. Hal ini membuat banyak orang terkejut, karena persepsi umum adalah bahwa korban akan merasa benci atau marah terhadap pelaku.

Apa Itu Trauma Bonding?

Trauma bonding adalah fenomena psikologis di mana korban kekerasan, penyalahgunaan, atau situasi trauma lainnya mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pelaku kekerasan atau penyerang. Istilah ini merujuk pada ikatan yang terbentuk sebagai hasil dari siklus penyalahgunaan yang terus berulang.

Dalam trauma bonding, korban mengalami ikatan yang kompleks dan kontradiktif dengan pelaku kekerasan. Meskipun mereka menyadari bahwa hubungan tersebut merugikan dan berbahaya, korban tetap merasa terikat secara emosional dan mungkin bahkan merasa ketergantungan terhadap pelaku. Ini dapat membuat korban sulit untuk mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri hubungan tersebut.

Contoh nyata dari trauma bonding dapat ditemukan dalam hubungan yang melibatkan penyalahgunaan fisik, seksual, atau emosional. Misalnya, korban kekerasan dalam rumah tangga sering mengalami trauma bonding dengan pasangan mereka, meskipun mereka menyadari bahwa hubungan tersebut tidak sehat dan berbahaya. Mereka mungkin merasakan rasa ketergantungan dan kesulitan untuk meninggalkan hubungan tersebut.

Persamaan Antara Stockholm Syndrome dan Trauma Bonding

Persamaan pertama adalah dari segi ikatan emosional yang kuat. Baik dalam Stockholm Syndrome maupun trauma bonding, terdapat ikatan emosional yang kuat antara korban dan pelaku kejahatan atau pelaku kekerasan. Kedua fenomena ini melibatkan perasaan simpati, empati, atau perhatian yang terjadi dalam konteks situasi yang sulit dan traumatis.

Persamaan kedua adalah dari segi mekanisme perlindungan diri. Kedua fenomena ini muncul sebagai mekanisme perlindungan diri untuk mengatasi situasi yang menakutkan. Korban mencari cara untuk meredakan stres dan meningkatkan peluang bertahan hidup dengan mengembangkan ikatan emosional dengan pelaku kejahatan atau pelaku kekerasan.

Persamaan ketiga adalah pengaruh kekuasaan dan kendali. Baik Stockholm Syndrome maupun trauma bonding melibatkan pengaruh kekuasaan dan kendali yang dimiliki oleh pelaku terhadap korban. Korban mungkin melihat pelaku sebagai sumber kekuatan atau pelindung dalam situasi yang mengancam.

Perbedaan Antara Stockholm Syndrome dan Trauma Bonding

Perbedaan pertama adalah dari konteks situasi yang mendasarinya. Stockholm Syndrome terjadi dalam situasi penyanderaan. Dimana korban menjadi sandera. Sementara trauma bonding terjadi dalam situasi penyalahgunaan atau kekerasan dimana korban adalah target penyerangan.

Perbedaan kedua, dari faktor kehidupan yang terlibat. Stockholm Syndrome cenderung lebih terkait dengan faktor situasional, seperti situasi penyanderaan yang menimbulkan tekanan dan ancaman, sementara trauma bonding melibatkan faktor kehidupan yang lebih luas, seperti siklus penyalahgunaan atau kekerasan dalam hubungan yang berulang.

Perbedaan ketiga, dari durasi ikatan emosional. Stockholm Syndrome seringkali terjadi dalam waktu yang relatif singkat selama situasi penyanderaan berlangsung, meskipun ikatan emosional dapat bertahan setelahnya. Di sisi lain, trauma bonding cenderung terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama, karena penyalahgunaan atau kekerasan dalam hubungan sering kali berlangsung dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Baca juga : Mengapa Menerima Emosi Kesedihan Itu Penting?

Meskipun sering kali disamakan, Stockholm Syndrome dan trauma bonding adalah dua fenomena yang berbeda dalam dunia psikologi. Stockholm Syndrome terkait dengan ikatan emosional yang terbentuk dalam situasi penyanderaan. Sementara trauma bonding terjadi dalam konteks penyalahgunaan atau kekerasan dalam hubungan.

Penting untuk memahami perbedaan ini agar kita dapat melihat dengan lebih jelas. Maka kita bisa memahami keadaan psikologis korban dalam situasi yang sulit. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan dan kesamaan antara Stockholm Syndrome dan trauma bonding.